Film
Sebagai Objek Analisis Semiotik
Film
merupakan bidang yang amat relevan bagi analisis semiotik. Seperti yang
dikemukakan Art Van Zoest, film dibangun dengan tanda – tanda semata. Tanda –
tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerjasama dengan baik untuk
mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan tanda – tanda fotografi statis,
rangkaian tanda dalam film menciptakan imajinasi atau sistem penandaan. Pada
film digunakan tanda – tanda ikonis yaitu tanda – tanda yang menggambarkan
seseuatu. Gambar yang dinamis pada sebuah film merupakan ikonis bagi realitas
yang dinotasikannya.[1]
Analisis semiotik pada
film berlangsung pada teks yang merupakan struktur dari produksi tanda. Bagian
struktur penandaan dalam film biasanya terdapat dalam unsur tanda paling kecil,
dalam film disebut scene. Scene dalam film merupakan satuan terkecil dari
struktur cerita film atau biasa disebut alur. Alur sendiri merupakan sejumlah
motif satuan – satuan fiksional terkecil yang terstruktur sedemikian rupa
sehingga mampu mengembangkan tema serta melibatkan emosi – emosi. Sebuah alur
biasanya mempunyai fungsi estetik pula, yakni menuntun dan mengarahkan
perhatian penonton ke dalam susunan motif – motif tersebut.
Analisis semiotik
berupaya menemukan makna tanda termasuk hal – hal yang tersembunyi dibalik
sebuah tanda (teks, iklan, berita). Karena sistem tanda sifatnya sangat
kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda
tersebut. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai
konstruksi sosial di mana pengguna tanda tersebut berada.[2]
Di dalam teori
semiotika, proses pemaknaan gagasan, pengetahuan atau pesan secara fisik
disebut representasi. Secara lebih tepat ini didefinisikan sebagai penggunaan
tanda – tanda untuk menampilkan ulang sesuatu yang dicerap, diindra,
dibayangkan atau dirasakan dalam bentuk fisik.[3]
Cerita
pada film tidak saja berupa refleksi dari realitas kehidupan masyarakat yang
dipindahkan ke dalam seluloid semata, film juga menjadi media representasi dari
kehidupan masyarakat. Dalam hal ini film menghadirkan dan membentuk kembali
realitas berdasarkan kode – kode, konvensi – konvensi dan ideologi dari
kebudayaan. Menurut Stuart Hall, seperti dikutip Budi Irawanto, film sebagai
sebuah konsep representasi memiliki beberapa definisi fungsi, yaitu menunjuk,
baik pada proses maupun produksi pemaknaan suatu tanda. Representasi juga
menjadi penghubung makna dan bahasa dengan kultur. Lebih jauh lagi, makna
dikonstruksi oleh sistem representasi dan diproduksi melalui sistem bahasa yang
fenomenanya bukan hanya melalui ungkapan – ungkapan verbal tapi juga visual.
[1] Rachmat Kriyantono, Teknik
praktis riset komunikasi, ( Jakarta :Prenada Media Group, 2008), Hlm. 263.
[2] Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hlm. 3.
[3] Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003), hlm.128.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar